Rekson Sitorus, Direktur Utama PT Godang Tua Jaya, pengelola TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat (Foto: Reza) |
Jakarta, Jurnalinfo--Nasib orang siapa yang tahu. Pepatah itu sering kita dengar. Begitu juga yang dilakoni oleh Rekson Sitorus. Setelah lulus SMA tahun 1971 di Pematang Siantar, dia sekolah di Akademi Ilmu Pelayaran, Jakarta, dan lulus tahun 1974. Namun, lantaran bukan panggilan hati, pekerjaannya di laut, dia tinggalkan dan memilih bidang kontraktor galian. Sampai akhirnya, menjadi bos di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Bantar Gebang, Kotamadya Bekasi, Jawa Barat.
Hampir semua orang di DKI Jakarta, bahkan secara nasional, hampir pasti mengenal nama Bantar Gebang. Sebab, dari lokasi menjadi Tempat Pembuangan Sampah Akhir warga Ibu Kota itu. Namun, sosok, Rekson Sitorus, mungkin kurang dikenal, lantaran memang dikenal rendah hati dan tidak haus publikasi.
"Saya memang orangnya tidak ingin disanjung atau dipuja orang. Bahkan, mohon maaf, beberapa petinggi parpol besar, langsung datang menemui saya mengajak bergabung dan duduk di dewan pengurus partai. Tapi dengan halus saya tolak. Kalau saya terjun ke politik, kemudian duduk jadi anggota DPRD atau DPR RI, bahkan bisa saja jadi kepala daerah. Pasti nanti saya tidak bisa berlaku adil dalam berbisnis," ujar Rekson, yang akrab dipanggil oleh lebih dari 17.000 pemulung dan keluarganya di Bantar Gebang, dengan sapaan Bang Rudi, kepada sejumlah awak media di kantornya yang megah di Bekasi, Jawa Barat, 28 Januari 2014.
Lantas pria kelahiran lahir di kampung Habinsaran, Toba Samosir, bertutur panjang lebar, sampai akhirnya bisa "berjodoh" dengan sampah. Setelah keluar sebagai pelaut, dan hatinya sedang galau mencari profesi yang pas buat dirinya. Ada kawan baiknya, yang juga bermarga sama dengannya, yakni Hioboja Sitorus, yang mengajaknya berbisnis pengurukan tanah.
"Saya langsung tertarik tawaran tersebut. Setelah saya coba, saya perhatikan, saya merasa cocok. Saya langsung tertarik. Saya katakan pada diri saya, ah, ini dunia saya. Menjadi kontraktor penggalian tanah. Saya masih ingat waktu itu tahun 1980," katanya bercerita.
Dari sinilah katanya pergulatan hidupnya menemukan jalan, dan perusahaan yang dia kelola berkembang dan berkembang terus. Masih jelas dalam ingatannya tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Bantar Gebang itu dulunya adalah sumber tanah urukan untuk proyek pembangunan perumahan di Podomoro, Kelapa Gading, dan Sunter.
Dia menganggap Hiobaja Sitorus adalah "guru"-nya dalam bisnis tanah uruk. Sang guru kemudian mengalihkan usaha ke bidang perhotelan dan mendirikan sebuah hotel di Tambun. Rekson Sitorus bertahan dengan lapangan pekerjaan yang dia anggap pas untuk hidupnya. Menyediakan jasa pelayanan pengurukan tanah
Dalam waktu tujuh tahun, dari seorang yang menjual tenaganya kepada orang lain, Rekson telah menjadi raja atas dirinya sendiri. Dia sudah menguasai 5 ha tanah di Bantar Gebang ketika pemerintah DKI memutuskan untuk membebaskan daerah itu untuk dijadikan tempat pembuangan sampah akhir untuk wilayah Jakarta. Pintu lebih terbuka buatnya untuk mengembangkan layar lebih lebar lagi mengarungi bisnis di dunia yang dianggap jorok oleh orang lain: sampah.
Pada tahun 1993 dia mendirikan PT Godang Tua Jaya. Nama itu agaknya sengaja dipilih karena di situ terkandung obsesi untuk menjadi "berkah yang besar".
"Kemudian 5 Desember 2008, perusahaan kami memenangkan tender untuk mengelola TPA Bantar Gebang. Kami mengikuti semua prosedur dengan fair, dan nyakin bakal menang. Soalnya sudah berpengalaman dalam bidang galian. Cocok dengan metode baru mengelola sampah di Bantar Gebang, dengan cara gali dan urug dengan tanah," ujarnya.
Selain keputusannya yang tepat untuk menjauh dari laut, ada bakat yang sudah tertanam dan dibawanya dari kampungnya di Habinsaran. Bapaknya adalah seorang toke kemenyan. "Kami, anak-anak, sering diajak orangtua untuk menyaksikan transaksi dan nego haminjon. Memang, kami tidak dilibatkan secara langsung, melainkan diberi kesempatan untuk mendengarkan orang-orang ngomong. Jadi, sejak kecil, kami sudah diperkenalklan dengan perdagangan hamijon dan kopi. Bapak kami mengumpulkan haminjon dan menjualnya di Pematang Siantar," kenang Rekson.
PLTSA Terbesar di Dunia
Siapa sangka dari barang yang dianggap tidak berguna dan menjijikkan itu, bisa dibuat Pembangkit listrik Tenaga Sampah (PLTSA). Bahkan akan dibangun yang terbesar di Dunia di Bantar Gebang,
"PLTSA ini jika selesai terbangun akan menjadi PLTSA terbesar di dunia, belum ada PLTSA berkapasitas hingga 138 Mega Watt (MW)," tambahnya.
Dikatakan Rekson, saat ini TPST Bantar Gebang sudah memiliki pembangkit PLTSA berkapasitas 12,5 MW. "Saat ini kita sudah punya pembangkit listrik sampah dengan kapasitas 12,5 MW dan didistribusikan ke jaringan listrik PLN sebesar 10 MW. Proyek ini bekerjasama dengan PT NOI dan sudah berjalan selama 4 tahun," katanya.
Menurut Rekson, dalam sehari rata-rata TPST Bantar Gebang menerima sampah dari DKI Jakarta sebanyak 5.300 ton per hari.
"2.000 ton per hari kita manfaatkan sebagai PLTSA, kompos, dan lainnya, 2.000 ton per hari akan dimanfaatkan untuk proyek dengan Pertamina dan Solena, masih ada sekitar 1.500-an ton yang belum termanfaatkan, kita masih menunggu investor yang lain," tukas Rekson. (Reza Indrayana)
Rabu, 8 Mei 2013 | 18:48
|
Minggu, 17 Februari 2013 | 22:30
|
Selasa, 4 Juni 2013 | 23:33
|
Kamis, 16 Mei 2013 | 16:17
|
Kamis, 24 Maret 2016 | 08:22
|
Selasa, 11 Februari 2014 | 14:01
|
Senin, 11 November 2013 | 17:45
|
Sabtu, 10 Agustus 2013 | 18:12
|
Senin, 18 Maret 2013 | 19:24
|
Kamis, 12 Sepember 2013 | 10:32
|
Senin, 15 Juli 2013 | 14:44
|
Rabu, 29 Januari 2014 | 21:09
|
Kamis, 13 Juni 2013 | 01:13
|
Kamis, 18 Sepember 2014 | 14:23
|
Selasa, 10 Sepember 2013 | 17:01
|